Jawabannya bisa ‘ya’ atau ‘tidak’ tergantung pada sudut pandang pemberi jawaban dan tergantung pada si penerjemah itu sendiri. Banyak para penerjemah yang berpikir bahwa teori itu tidak penting, yang penting adalah praktik. Banyak juga yang berpikir bahwa teori penerjemahan dapat menambah pengetahuan seorang penerjemah dan membantu mereka dalam bekerja.
Menurut Anthony Pym dalam bukunya Exploring Translation Theories (2010), pada dasarnya setiap penerjemah tidak hanya para penerjemah atau para ahli yang memiliki istilah teknis memiliki teori mereka masing-masing. Penerjemah yang tidak tahu teori penerjemahan bisa saja menerjemahkan lebih cepat dan lebih efisien karena mereka tahu lebih sedikit tentang berbagai teori penerjemahan. Mereka tidak ragu dan tidak membuang waktu mereka. Sebaliknya, pengetahuan akan teori yang bersifat teknis dapat menjadi alat bantu dalam penerjemahan terutama ketika sedang berkutat menghadapi kesulitan dalam penerjemahan.
Pengetahuan akan teori juga dapat membantu seorang penerjemah untuk menjawab pertanyaan klien, misalnya “kenapa kata “tajen” tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris?” Si penerjemah dapat dengan leluasa dan percaya diri memaparkan bahwa kata “tajen” tidak memiliki terjemahan leksikal yang equivalen dalam bahasa target (bahasa Inggris) yang dikarenakan oleh perbedaan budaya bahasa sumber dan bahasa target. Jadi si penerjemah dapat menggunakan prosedur “borrowing” atau “transference” atau dengan menambahkan keterangan dalam frasa atau kalimat deskriptif yang menerangkan tentang tajen dalam bahasa Inggris. Prosedur dengan menambahkan keterangan tambahan yang diketik atau ditulis dalam kurung atau catatan kaki dinamakan “descriptive equivalence procedure” oleh Newmark (1988).
Contoh lainnya adalah ketika menerjemahkan proverb atau peribahasa. Setiap bahasa memiliki konsepnya masing-masing. Kita tidak harus menerjemahkan suatu kata atau ungkapan secara literal. Ada cara lain yang lebih bersifat dinamis. Misalnya ketika menerjemahkan “Sekali merengkuh dayung, dua atau tiga pulau terlampaui.” Kita dapat menerjemahkannya dengan peribahasa dalam bahasa Inggris yakni “Kill two birds with one stone.” Keduanya memiliki makna sama meskipun diungkapkan secara berbeda. Ini dinamakan terjemahan dinamis oleh Nida (1964) yang lebih menekankan makna dan “naturalness” daripada bentuk.
Jadi kesimpulannya, tidaklah wajib bagi penerjemah untuk tahu teori penerjemahan tetapi ada baiknya untuk tahu teori penerjemah karena akan memberikan manfaat baik dalam proses penerjemahan itu sendiri maupun setelahnya (jika menghadapi pertanyaan).
Kontributor: Luh Windiari
Referensi:
Newmark, Peter. 1998. A Text Book of Translation. London: Prentice-Hall.
Nida, Eugane A, and Charles R. Taber. 1964. The Theory and Practice of Translation. Leiden: The United Bible Societies.
Pym, Anthony. 2010. Exploring Translation Theories. New York: Routledge